Peliharalah Lidahmu!!!!. Diberdayakan oleh Blogger.

Pengikut

RSS
Container Icon

MAKALAH "USHUL FIQH"

KAIDAH-KAIDAH USHULIYAH


BAB I
PENDAHULUAN
1.    Latar Belakang

Telah disebutkan bahwa salah satu syarat berlakunya hokum adalah jika bahasa dan isinya dapat diketahui oleh mukallaf. Jika tidak, maka hukum tidak dapat diberlakukan. Bahkan, statusnya sebagai hokum yang mengikat menjadi batal. Telah dimaklumi bahwa sumber-sumber pokok islam syari’ah adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah Nabi SAW yang berbahasa arab dan bahasa arab itu sendiri mempunyai pola (أُسْلُوْبُ اللّغَة)  tersendiri yang khas dan berbeda dengan bahasa-bahasa lain. Artinya, jika hendak memahami hukum syari’at, maka seseorang harus memahamiالعربية  أُسْلُوْبُ اللّغَة.
Dalam menunjukkan hukum kepada mukallaf, Al-Qur’an dan As-Sunnah Nabi SAW menggunakan cara-cara yang tidak seragam. Untuk menunjukkan hukum wajib, misalnya Al-Qur’an menggunakan cara yang berbeda, kadang menggunakan bahasa langsung dan kadang tidak langsung. Karena itu, untuk memudahkan dalam mempelajari dan memahami hukum, para ulama’ mengadakan penelitian terhadap bahasa hukum syar’i yang kemudian disusun menjadi kumpulan kaidah-kaidah bahasa (القواعد اللغاوية) dalam ushul fiqh.
Kaidah-kaidah ini penting sekali, terutama bagi orang-orang nonarab yang ingin mempelajari hukum syari’at. Disamping itu, kaidah bahasa merupakan bagian terpenting dalam kegiatan istinbat hukum. Sebab, penguasaan terhadap kaidah-kaidah ini sekaligus mencerminkan pemenuhan syarat-syarat bagi mujtahid/mustanbit. Dengan alasan seperti itulah kami mencoba menjelaskan “Kaidah-kaidah Ushuliyah” dalam makalah ini sebagai bentuk agar dapat dijadikan referensi.

2.    Rumusan Masalah
1.    Apakah definisi Kaidah-kaidah Ushuliyah menurut para ahli dibidangnya?
2.    Apa sajakah macam-macam Kaidah Ushuliyah?

3.    Tujuan
1.      Mengetahui definisi Kaidah-kaidah Ushuliyah hingga perlu harus dipelajari.
2.      Mengetahui macam-macam Kaidah Ushuliyah.


BAB II
PEMBAHASAN
A.  Definisi Kaidah-kaidah Ushuliyah (قواعد الأصوليه)
Qaidah ushuliyah merupakan gabungan dari kata Qaidah dan ushuliyah, kaidah dalam bahasa Arab ditulis dengan قاعدة, artinya patokan, pedoman dan titik tolak. Ada pula yang mengartikan dengan peraturan. Bentuk jamak قاعدة (mufrad) adalah قواعد. Adapun ushuliyah berasal dari kata أصل, artinya pokok, dasar, atau dalil sebagai landasan. Jadi, qaidah ushuliyah adalah pedoman untuk menggali dalil syara’, titik tolak pengambilan dalil atau peraturan yang dijadikan metode penggalian hukum, kaidah ushuliyah disebut juga sebagai kaidah Istinbathiyah atau ada yang menyebut sebagai kaidah lughawiyah, kaidah ushuliyah adalah dasar-dasar pemaknaan terhadap kalimat atau kata yang digunakan dalam teks atau nash yang memberikan arti hukum tertentu dengan didasarkan kepada pengamatan kebahasaan dan kesusastraan Arab.
Drs. Beni Ahmad Saebani, M.Si mengemukakan pengertian kaidah menurut Ahmad Muhammad Asy-Syafi’i dan Fathi Ridwan. Pengertian kaidah menurut Ahmad Muhammad Asy-Syafi’i adalah sebagai berikut :
ﺍﻠﻘﺎﻋﺩﺓ : ﺍﻠﻘﻀﺎﻴﺎ ﺍﻠﻜﻠﻴﺔ ﺍﻠﺘﻲ ﻴﻨﺩﺭﺝ ﺘﺤﺕ ﻜﻝ ﻭﺍﺤﺩ ﻤﻨﻬﺎ ﺤﻜﻡ ﺠﺯﺌﻴﺎ ﻜﺜﻴﺭﺓ
Artinya :
“Hukum-hukum yang bersifat menyeluruh yang dijadikan jalan untuk terciptanya masing-masing hukum juz’i.”
Adapun menurut Fathi Ridwan pengertian kaidah itu adalah sebagai berikut :
ﺍﻠﻘﺎﻋﺩﺓ : ﺤﻜﻡ ﻜﻠﻲ ﻴﻨﻁﺒﻕ ﻋﻠﻰ ﺠﻤﻴﻊ ﺠﺯﺌﻴﺎﺘﻪ
Artinya :
“Hukum-hukum yang bersifat umum yang meliputi bagian-bagiannnya.”
Antara pengertian kaidah menurut Ahmad Muhammad Asy-Syafi’i dengan pengertian kaidah menurut Fathi Ridwan penulis simpulkan terdapat persamaan di antara keduanya, bahwa kaidah itu adalah hukum-hukum yang bersifat umum dan menyeluruh.
Dalil syara’ itu ada yang bersifat menyeluruh, universal, dan global (kulli dan mujmal) dan ada yang hanya ditujukan bagi suatu hukum tertentu dari suatu cabang hukum tertentu pula. Dalil yang bersifat menyeluruh itu disebut pula qaidah ushuliyah. Qaidah ushuliyah adalah sejumlah peraturan untuk menggali hukum. Qaidah ushuliyah itu umumnya berkaitan dengan ketentuan dalalah lafadz atau kebahasaan.
Kaidah-kaidah ushuliyah menurut Prof. Dr. Muhammad Syabir adalah sebagai suatu perkara kulli (kaidah-kaidah umum) yang dengannya bisa sampai pada pengambilan kesimpulan hukum syar’iyyah al-Far’iyyah dan dalil-dalilnya yang terperinci.
Dari beberapa pengertian mengenai kaidah ushuliyah di atas disimpulkan bahwa kaidah ushuliyah itu merupakan sejumlah peraturan untuk menggali dalil-dalil syara’ sehingga didapatkan hukum syara’ dari dalil-dalil tersebut.

B.   Macam-macam Kaidah Ushuliyah (قواعد الأصوليه)
Terdapat 4 macam pembagian kaidah-kaidah dalam usuliyah, diantaranya sbb:
1.    Metode Memahami Makna dari Kalimat (Dalam Cara Menerangkan Nash)
Setiap dalil hukum mempunyai pola [corak] tersendiri dalam menunjukkan maknanya . Bahkan, terkadang suatu dalil mempunyai banyak makna, tergantung pada sudut pandang yang digunakan . Cara penunjukan dalil terhadap makna [madlul] nya ada 4 macam : Yaitu ‘ibarah an-nas [ungkapan nash] , isyarah an-nas [isyarat nash], dalalah an-nas [petunjuk nash], dan iqtida’ an-nas [kehendak nash
1) Ibarah an-Nas (عبارة النص)     
      Maksud ibarah an-nas  adalah makna  ( madlul ) yang dapat dipahami secara langsung dari bentuk ( sigah ) atau redaksi kalimatnya . jenis nash yang dimaksud dalam ungkapan ini bias berbentuk  mufrad ( tuggal ) dan jumlah ( frasa ) . Dalil tersebut memiliki makna yang dapat dipahami secara pembacaan sekilas / letter lijk dalil-dalil yang termasuk kategori ini sangat banyak hal ini untuk mempermudah memahami kandungan hukum .
Contoh firman Allah berikut :                                               وأحل الله البيع و حرم الربوى
Artinya : Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba  (Q.S. ai Baqarah (2) : 275 ) Ayat (dalil) di atas menunjukkan makna yang jelas dan langsung.

2) Isyarah an-Nas  (إشارة النص) 
Maksud isyarah an-Nas adalah makna yang tidak dapat dipahami secara langsung dari redaksi kata-katanya , untuk memahami dalil jenis ini lebih sulit dan menuntut berpikir yang serius, meskipun dalil tersebut mempunyai makna secara langsung.
Contoh firman Allah :                                    وعلى المولودله رزقهن و كسووتهن بالمعروف
Artinya: dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut. ( Q.S. al – Baqarah (2) : 233 ) 
     Secara isyarat an-Nas , makna dalil tersebut bahwa kewajiban ayah menanggung nafkah anak-anaknya bersifat mutlak , karena mereka adalah miliknya . meskipun antara ayah dan ibu berbeda suku tetapi anak tetap menjadi sang ayah, yang setatusnya dapat berimplikasi pada hukum perwalian terhadap anak . Dalam hal waris , ayah juga menjadi asabah (penerima sisa) jika anaknya meninggal , tidak mempunyai anak / mempunyai anak perempuan . secara isyarah an-Nas . dalil tersebut  juga menunjukkan bahwa karena anak adalah milik ayah , maka semua harta kekayaan anak juga menjadi milik ayah.
3 (Dalalah an- Nasدلالة النص  )   (
        Maksud dalalah an-Nas adalah makna yang dapat dipahami jiwa nas  dan rasionalitasnya  . maka dalalah ini cukup diperoleh dengan memahami segi bahasanya saja , dan tidak harus dengan ijtihad / qiyas dan di dalam nya terdapat illat (alasan)  contoh firman Allah :                                                 فلا تقل لهما اف
                          Artinya : maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ ah” ( Q.S.al- Isra’ ( 17)  : 23 )
          Makna dalalahnya bahwa illat ( alasan larangan mengucapkan “ ah” kepada orang tua dapat menyakiti orang tua ) semua bentuk perlakuan anak yang dapat menyakiti orang tuanya juga di larang . Baik yang tingkatanya sama dengan kata “ah” , terutama yang lebih berat lagi memakai-maki dan memukulnya
4)  Iqtida’ an-Nas      اقتضأ النص ) )
       Maksud Iqtida’ an-Nas adalah suatu makna / lafal ( yang tidak nampak ) dalam sebuah kalimat dan tidak bisa tegak dan logis kecuali dengan memperkirakan (memasukkan ) makna / lafal tersebut jadi lafal atau makna tersebut dibutuhkan ( dikehendaki ) untuk tegaknya makna kalimat tersebut itu  contohnya firman Allah  :                                                  حرمت عليكم امهتكم وبنتكم
        Artinya :  Di haramkan atas kamu (……..) Ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan ( Q.S. an Nisa’ (4) : 23) .  Dalam kurung yang masih kosong di atas (……..)  memerlukan lafadz / makna lain lafad yang dikehendaki dalam ayat tersebut adalah “ menikahi” (zawaj) dengan demikian makna lengkapnya adalah Diharamkan atas kamu ( menikahi) Ibu-ibumu dan anak-anakmu yang perempuan.
·         Tata Cara Penetapan Hukum
1. Lafad Amar
      Secara etimologi makna amar itu adalah perintah sedang secara terminologi para ulama ushlul fiqih memberikan pengertian menurut Ja’far Amir definisi al amru dari kitab Irsyadul Fuhul yang artinya : Amar adalah perintah dengan lesan untuk mewujudkan suatu perbuatan yang harus dilakukan.
·         Bentuk lafadz amar
a)         Fi’il amar contoh ; duduklah إجلس
b)        Isimfi’il amar contah : jagalah dirimu عليكم انفسكم
c)         Masdar pengganti fi’il contoh : berbuat baiklah pada kedua orang tua   وبالوالدين إحسانا
d)        Kalam khabar yang mengandung amar contoh : orang perempuan ditalak mereka (hendaknya) menuggu 3 quru’ ( persucian) contoh :
                   والمطلقات يتربصن بأنفسهنثلاثة قروء
·         Kandungan / kedudukan hukum dari kalam amar  
Ada dua qaidah / rumus yang diajukan ulama  yaitu :
1. Bahwa setiap amar / perintah itu pada dasarnya menunjukkan hukum  wajib qaidahnya berbunyi  :                                                            الآصل ف الامر الوجوب
2. Setiap perintah itu pada dasarnya hanya anjuran / nadab / sunnat saja qaidahnya berbunyi :                                                                                   الأصل ف الأمر للندب                                                                                                                                          
·         Macan-macam maksud lafad amar
      Semua lafadz yang berbentuk amar itu berarti perintah, namun terkadang lafadz amar itu keluar dari arti perintah dan berarti lainya misalnya berarti  :
a. Anjuran (nadab) misanya :                                                 فكاتبوهم ان علمتم فيهم خيرا
b. Irsyad (himbauan) misalnya :                            اذاتداينتم بدين الى اجل مسمى فاكتبوه                           
                    c. Doa  misalnya : ربنا أتنا فى الدنيا حسنة وفىالأخرة حسنة وقنا عذا بالنّار                            
d. Iltimas (sekedar permintaan ) misalnya :                                           زرنى فى بيت      
e. Tamani ( berangan-angan)  misalnya :               ياليل طل يا نوم زل ياصبح قف لاتطلع 
f. Tahyir ( disuruh memilih ) misalnya:                                                                 مومن شأ فليكفر                                                                            من شأ  فليوء
   g. Taswiyah ( mempersamakan ) misalnya : Berkatalah yang baik atau diamlah  
 فليقل خيرا اوليصمت                
h. Ta’jis ( melemahkan ) misalnya : bila kamu ragu-ragu pada al qur’an maka  datangkanlah satu surat misalnya      وان كنتم في رريبب مما نزلنا على عبدنا فأ توا بسورة من مثله
i. Tahdid (ancaman ) misalnya : Bila kamu tidak malu berbuatlah sekehendakmu
    وان لم تستحي فاصنع ما شئت  
2. Lafadz/Kalam Nahyu
       Secara bahasa Nahyu itu berarti  larangan , sedangkan secara istilah adalah suatu tuntutan untuk meninggalkan sesuatu dari pihak atasan kepada pihak bawahan   
طلب الترك من الاعلى الى الاءرنى                                                                                         
      Maksud dari Nahyu adalah dalil Nash yang bersumber dari firman Allah SWT baik berupa dalil-dalil Al qur’an maupun As sunnah yang berisi larangan untuk mengerjakan sesuatu  perkara.
·         Bentuk lafad Nahyu
a. Kata yang tegas larangan yakni berbentuk fi’il mudhori’ mukhotob (kamu) yang dimasuki oleh laa nahiyah  misalnya :   لاتكتبوا , لاتجلس
b. Kalam khobariyah yang mengandung makna larangan  misalnya :  حرم . نهي 
    حرمت عليكم الميتة والدم.  نهى رسولالله عن التبطل
c. Lafad yang menafikan suatu perbuatan  misalnya : Tidaklah minum seseorang dari kamu sambil berdiri , walaupun dengan kalimat nafi, tetapi dikandung maksud tidak disenangi ,maka berarti larangan     لايشربن احدكم قاءما
        contoh dalil :  لاتقربواالصلاة وانتم سكارا        
“ jangan kamu mengerjakan solat sedang dalam keadaan mabuk” ini berarti bahwa kalau hanya berdasar dalil ini , tidak boleh solat pada waktu mabuk saja , karena ada qorinah dalam keadaan mabuk , jadi setelah tidak mabuk lagi maka larangan solat itu sudah tidak berlaku  lagi
3. Lafadz Aam
             Lafadz Aam adalah lafadz yang mengandung satuan-satuan yang banyak tanpa batas atau dengan kata lain lafad Aam adalah lafad yang mengandung arti umum tidak di batasi oleh suatu kekhususan contoh : lafad al-insan ( manusia) lafad ini memasukkan semua jenis yang pantas disebut dengan manusia tercakup semua ini semua jenis manusia dalam arti seluas-luasnya tanpa batas
·         Bentuk lafadz yang mengandung makna Aam
a. Isim istifham / pertanyaan من. ما, اين, متى, اى       contoh  اينما تكونوايذركم الموت   DImana saja ( dalam arti umum) kita bisa menemui kematian
b. Isim syarat contoh :   من كان يؤمن باللهرواليوم الاخر فاليكرم ضيفه     Siapapun juga ( tanpa pilih-pilih) yang menyatakan beriman kepada Allah dan hari akhir supaya menghormati tamunya
c. Lafad kullun , jami’un, ma’syara, kaffah contoh : يامعشر الشباب كل مولود يولد على الفطرة   
Setiap anak (dalam arti umum tanpa kecuali) di lahirkan dalam keadaan suci , wahai pemuda (tanpa kecuali)
d. Isim mufrod dan jama’ yang di ma’rifatkan dengan alif laam (al)  contoh :  الرجل  .السارق 
السارق والسارقة فا قطعوا ايد يهما       Pencuri lelaki dan perempuan (tanpa terkecuali) hendaknya di potong tangannya
e. Isim maushul  الذي . الذين, اللتى    contoh :  الذين يوء منون بالغيب  Orang-orang yang beriman pada yang ghoib , hal ini berarti masih umum siapa saja tanpa kecuali  asal beriman pada yang ghoib.
4. Lafadz Khos
             Lafad khos adalah lafad yang di gunakan untuk menunjukkan sesuatu arti khusus contoh satu orang / hal / barang tertentu misalnya  si Ahmad itu , bangku itu terkait dengan lafad khos ini adalah perihal : takhsis, mukhasis
a. Takhsis adalah mengeluarkan sebagian dari satuan-satuan yang dikandung oleh lafad Aam ( Mengkhususkan keumuman lafad Aam ) contoh : لااله الاالله      maka yang di sebut Tuhan khusus Allah selain Allah bukan Tuhan
b. Mukhasis adalah lafad yang menjadi dasar adanya pengeluaran dari ketentuan Aam tersebut  / lafad / dalil yang dijadikan untuk mengkhususkan.
5. Lafadz Jama’
     Lafadz jama’ adalah lafad yang menunjukkan arti banyak.
a.DIlihat dari hubungan dengan jenis kelamin laki-laki dan perempuan jama’ di bagi 3 : jama’ khusus laki-laki, jama’ khusus perempuan  dan jama’ yang meliputi laki-laki dan perempuan
b. Dalalah lafadz jama’ kalau di tinjau secara bahasa maka jama’ laki-laki itu khusus laki-laki demikian pula jama’ perempuan juga khusus perempuan misalnya ungkapan saudara-saudara/ saudari-saudari  misalnya:  والمطلقات يتربصن بأنفسهن ثلاثة قرؤ   Para perempuan yang di thalak supaya menunggu iddah ini dengan menggunakan jama’ perempuan المطلقات    Maka yang di perintah ber iddah adalah paraperempuan sedangkan para laki-laki tidak harus beriddah .   ياءيها الذين ا منوا كتب عليكم الصيام 
       Sekalipun perintah puasa ini dengan jama’ laki-laki كم امنوا, الذين
Kata-kata ini semua menyangkut jama’ laki-laki maka secara lafdziyah yang wajib puasa adalah kaum laki-laki namun sebagaimana kebiasaan syara’ tersebut para perempuan pun juga wajib puasa sekalipun tidak ada lafad  كن  
السسلام عليكم    Sekalipun diungkapkan dengan kata كم     saja yang artinya semoga keselamatan untuk kamu para laki-laki dan tidak ada kata كن   nya yang menkhususkan perempuan maka para perempuan yang mendengarkan ucapan salami itu tetap wajib menjawab salam tersebut , sekalipun dalilnya di tunjukan pada kaum laki-laki.

2.    Mantuq dan Mafhum
a.    Pengertian Mantuq
·         Lafadz mantuq:
مآدل عليه اللفظ في محل النطقي             
Artinya: “Lafadz yang kandungan hukumnya sesuai dengan bunyi lafadznya.
·         Lafadz mafhum:
              مآدل عليه اللفظ لا في محل النطقي
Artinya: “Lafadz yang kandungan hukumnya tidak sama dengan bunyi lafadznya.

Jadi, dikatakan mantuq apabila dengan bunyi lafadznya itu sendiri sudah memberikan hukum yang jelas, sedangkan dikatakan mafhum apabila hukum yang di kandung dalam lafadz itu memerlukan adanya pemahaman diluar bunyi lafadz. Misalnya, manusia dilarang mencuri, secara mantuq hokum mencuri dilarang , sedang mafhumnya adalah mencopet juga dilarang. Bunyi lafadznya mencuri bukan mencopet.

b.   Pengertian & Pembagian Mafhum
1.    Mafhum Muwafaqoh
Adalah apabila hokum yang dikandung senada dengan bunyi lafadznya. Mafhum muwafaqoh dibagi 2, yaitu:
a.      Fahwal Khitob (فحؤالخطاب)
Yakni apabila hukum yang difahamkan lebih berat dari bunyi lafadznya.
Misalnya, Jangan kamu berkata “hus” kepada orang tuamu. Maka secara fahwal khitob kita dilarang juga menempeleng orang tua, karena menempeleng lebih berat dari pada berkata “hus”.
b.      Lahnul Khitob (لحن الخطاب)
Yakni apabila hukum yang difahamkan itu sama dengan bunyi lafadznya.
Misalnya, Dilarang memakan harta anak yatim. Secara lahnul khitob, kita juga dilarang membakar harta anak yatim, karena sama-sama merusak/melenyapkan harta anak yatim. 
2.    Mafhum Mukholafah
Adalah apabila hukum yang difahamkan berbeda/kebalikan dengan apa yang diucapkan (bunyi lafadznya).
Misalnya, Lafadz Allah الحج اشهر معلومت (“Ibadah haji itu adalah pada bulan-bulan tertentu”{syawal, dzulqo’dah, dan sampai 10 dzulhijjah})
Dengan demikian, Macam-macam mafhum mukholafah:
a.    Mafhum Sifat
b.    Mafhum ‘Illat
Yakni mafhum yang didasarkan atas illat hukum itu.Misalnya, Sabda Nabi كل مكر حرام (setiap minuman yang memabukkan adalah harom. Berarti mafhum mukholafahnya adalah bahwa minuman yang tidak memabukkan adalah tidak haram.
c.    Mafhum Syarat
d.    Mafhum Adad
Yakni suatu ketentuan manthuqnya berupa bilangan.
e.    Mafhum Ghoyah
Yakni mafhum yang difahami dari makna ghoyah (sampai/hingga).
Misalnya, Q.S.Al-Baqoroh:187
                  ثم اتم الصيام الى اليل
Artinya : Maka sempurnakanlah puasa itu sampai malam.
Dengan demikian, mantuqnya puasa itu sempurna hanya sampai menemui waktu malam, maka mafhum mukholafahnya adalah setelah waktu malam tiba kita tidak boleh lagi berpuasanya.
f.      Mafhum Laqob
Yakni mafhum yang difahami dari makna nama atau barang .Misalnya, Aku melihat Zaed. Karena yang dilihat Zaed maka secara mafhum mukholafah.
Selain Zaed tidaklah dilihat.
g.    Mafhum Hasher
Yakni mafhum dari lafadz yang mengandung hasher (pembatasan yang khusus).
h.    Mafhum Haal
Yakni mafhum yang diambil dari lafadz yang menunjukkan keadaan sesuatu.
i.      Mafhum Zaman
Yakni mafhum yang diambil dari lafadz yang menunjukkan zaman (waktu).
j.      Mafhum Makkan
Yakni mafhum yang diambil dari lafadz yang menunjukkan tempat tertentu. Syarat-syarat berhujjah dengan Mafhum Mukholafah :
·      Tidak bertentangan dengan dalil yang lebih kuat dan mafhum muwafaqoh.
·      Dalil yang difahami tidak untuk menunjukkan imtinan (kenikmatan sesuatu).
Apabila dalam dalil yang difahami secara mukholafah itu memberi petunjuk
tentang kenikmatan sesuatu maka mafhum mukholafah tidak dapat dipakai secara hujjah.
·      Dalil itu tidak dimaksut untuk menjelaskan sesuatu yang berlaku saat tertentu.
Apabila dalil yang difahami itu dalam rangka menjelaskan keadaan yang tertentu yang saat dalil itu dititahkan berlaku, maka mafhum mukholafahnya tidak bisa digunakan.
3.    Tingkatan Dalalah terhadap Makna (واضح الدللة)
Wadhihud adalah dari nash, yaitu apa yang menunjukkan maksudnya dari sighat itu sendiri, tanpa, dimasuki oleh urusan luar. Tiap-tiap nash Wadhihud Dalalah, wajib beramal dengannya yang merupakan wadhihud dalalah atasnya. Tidak sah mentakwilkan apa-apa yang mengandung takwil, kecuali dengan dalil  
Dalalah adalah pola lafal dalam menunjukkan maknanya. Kalau kita membaca ayat-ayat Al-qur’an dan hadits Nabi Saw, kita akan mendapatkan berbagai pola/gaya kalimat yang digunakan kaduanya dalam menunjukkan maknanya, ada yang menunjukkan maknanya secara langsung dan jelas, ada pula yang secara langsung atau samar-samar.
Secara garis besar, para ulama ushul fiqih mengelompokkan dalil-dalil dalam pola penunjukkan maknanya menjadi 2 kelompok, yaitu dalil-dalil yang jelas dan dalil-dalil yang tidak jelas.
1.    Dalil-dalil yang memiliki makna jelas
Menurut Abd. Al-wahhab khallaf, kelompok ini dibagi menjadi 4 bagian yang secara berurutan dimulai dari tingkat kejelasan terendah sampai yang tertinggi, Berikut diantaranya :
a.)       Al-Muhkam (المحكم)
Adalah suatu lafal yang dengan sendirinya menunjukkan maknanya secara jelas, tidak menerima pembatalan dan penggantian, dan tidak mengandung takwil sama sekali. Selain itu, ia juga tidak menerima penghapusan (naskh), baik pada masa kenabian Muhammad SAW maupun sesudahnya. Pada umumnya dalil-dalil ini menjelaskan kaidah-kaidah agama yang bersifat asasi (fundamental) dan tidak dapat menerima penghapusan seperti keimanan kepada Allah, para rasul dan kitabnya.
b.)      Al-Mufassar (المفسر)
Adalah lafal yang dengan sendirinya dapat menunjukkan maknanya secara jelas dan terperinci, sehingga tidak menerima takwil lagi. Diantara yang termasuk mufassar ialah lafal-lafal dalam Al-qur’an yang asalnya mujmal (global), seperti perintah sholat, zakat, haji, kemudian ditafsirkan secara terperinci oleh sunah Nabi mengenai tata caranya, sehingga lafal-lafal yang mujmal itu menjadi mufassar.
c.)       An-Nash (النص)
Adalah lafal yang dengan sendirinya telah dapat menunjukkan makna pokok (asalah)nya tetapi masih menerima takwil dan naskh pada masa Nabi SAW.
Contoh :   قلى واحل ا الله البيع وحرم الر بوا
Artinya : Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (Q.S.Al-Baqarah:275).
Makna asalah dalil tersebut adalah bahwa jual beli dan riba itu berbeda.
d.)      Az-Dzahir (اظاهر)
Adalah lafal yang dengan bentuk kalimatnya sudah dapat menunjukkan maknanya, tanpa bergantung kepada aspek esternal.Tetapi makna tersebut bukan makna asalnya , melainkan makna sekundernya. Lafal dzahir juga menerima naskh dan takwil pada Nabi SAW.
Contoh firman Alloh dalam Q.S.Al-Baqarah:275 yang artinya Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Makna dzahir ayat itu bahwa hukum jual beli adalah mubah, sedangkan hukum riba itu haram.

2.    Dalil-dalil yang maknanya tidak jelas
Kelompok dalil ini terdiri atas 4 tingkatan dalil yang secara berurutan mulai dari yang paling kuat. Berikut diantaranya :
1.    Al-Khafi
Adalah lafal yang dengan bentuk kalimatnya dapat menunjukkan makna dzahirnya, tetapi ketika makna itu diterapkan kepada bagian-bagian lain yang sejenis, terdapat makna yang kabur dan tersembunyi, sehingga perlu penalaran untuk menegaskan makna yang kabur tersebut. Contoh : sanksi potong tangan bagi pencuri.Hukum potong tangan bagi pencuri menjadi kabur ketika diterapkan kepada perbuatan lain yang sejenis, seperti mencopet, merampas yang cara pengambilan barang dari orang lain dilakukan dengan terang-terangan atau didepan umum.
2.    Musykil
Adalah lafal yang dengan bentuk kalimatnya belum menunjukkan maknanya, sehingga perlu unsur lain untuk membantu menjelaskan maknanya tersebut. Kesamaran musykil berasal dari lafadznya sendiri yang secara bahasa memang memiliki lebih dari satu makna. Untuk menghilangkan kemusykilan itu perlu dilakukan ijtihad dengan cara mencari dalil-dalil lain yang lebih tepat untuk dijadikan klausul penjelasannya.
3.      Al-Mujmal
Adalah lafal yang dengan bentuk kalimatnya tidak menunjukkan makna yang dimaksut. Disana juga tidak ditemukan qarinah-qarinah, baik secara lafal maupun konteks yang menjelaskannya.

4.    Lafal Muradif dan Musytarak
a.      Pengertian Murodif
أللَّفْظُ الْمُعْتَدِلُ لِلْمَعْنَى الْوَاحِدُ
“Beberapa lafadz lafadz yang memiliki makna yang sama”
Murodif adalah satu makna yang mempunyai lafadz lebih dari satu. Contohnya adalah kata “singa” yang dalam bahasa arab disebut ليش/ أسد.Para ulama’ berbeda pendapat mengenai pemakaian lafadz-lafadz murodif ini, apakah antara lafal yang satu dengan yang lainnya dapat dipertukarkan/tidak. Pendapat yang kuat membolehkan, asal tidak bertentangan dengan syara’ kecuali lafadz-lafdzl yang memang sudah ditentukan oleh syara’. Misalnya lafadz takbirotul ihrom dalam sholat, yaitu “الله اكبر”, tidak dapat diganti dengan lafadz “الله اعظم meskipun keduanya sama-sama berarti “Alloh Maha Besar”.
b.      Pengertian Musytarak
Secara lughoh/kebahasaan musytarak bersifat ganda, yakni semua makna berserikat dengan yang lain dalam satu simbol ungkapan, sedangkan menurut para ahli ushul fiqh yang dimaksud dengan lafadz musytarak adalah
اللَّفْظُ الْمَوْضُعَةُ الْحَقِقَتَيْنِ مُخْتَلِفَتَيْنِ أَوْ أَكْثَرَ
“Satu lafadz yang memiliki dua arti atau lebih yang berbeda”. Misal:قروء (bisa berarti haid/suci), الجون (hitam/putih). Munculnya berbagai macam simbol ungkapan tersebut disebabkan oleh, antara lain:
·      Ada beberapa kabilah bangsa arab yang memiliki tradisi yang berbeda-beda dalam bahasa arab, namun masing-masing dari mereka masih bergabung dalam satu rumpun bangsa yang memiliki alat komunikasi bahasa mereka yakni bahasa arab. Namun dalam konteks tertentu mereka memiliki simbol ungkapan makna yang berbeda bahkan bisa mengandung makna yang berlawanan.
·      Terkadang satu simbol kata-kata digunakan untuk mengemukakan sesuatu makna yang majaz (arti yang buku sebenarnya), sehinggakarena berulang-ulang diungkapkan maka makna majaz tersebut justru sangat popular di masyarakat yang terkadang mengalahkan makna hakikinya.
·      Adakalanya sejak semula lafadz itu memang sudah dipergunakan mengungkapkan hal yang berbeda-beda, misalnya lafadz nikah. Secara jelas nikah itu berkumpul. Maka ungkapan kata nikah bisa berarti akad / hubungan seksual. Hal ini karena ijab qobul (akad) adalah proses pengumpulan dua jenis manusia yang berlainan jenis, sedangkan hubungan seksual adalah mengumpulkan (menghubungkan) alat seksual yang berbeda.
·       Adakalanya dua ungkapan itu dimunculkan dengan pemaknaan arti secara kebahasaan dan pemaknaan dalam kaitannya dengan hukum syara’. Misalnya kata sholat, secara kebahasaan bermakna berdo’a, sedangkan secara hukum syar’i bermakna ritual menyembah Alloh SWT dengan cara tertentu yang dimulai dengan takbirotul ihram dan disudahi dengan salam.
Penggunaan lafadz musytarak, menurut jumhur ulama’ diperbolehkan memilihnya, misalnya memilih arti قروء, boleh pilih arti suci/haid. Sehingga berapa lama ‘iddah wanita yang dicerai, boleh memilih apakah tiga kali suci/tiga kali haid.













BAB III
PENUTUP

A.     KESIMPULAN
Dari makalah ini dapat disimpulkan bahwa objek kajian ushul fiqh itu antara lain adalah kaidah-kaidah penggalian hukum dari sumbernya. Dengan demikian, kaidah ushuliyah adalah sejumlah proporsi / pernyataan / ketentuan dalam menggali hukum islam dari sumber-sumbernya, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah. Kaidah-kaidah ushuliyah berfungsi sebagai alat atau metode dalam menggali ketentuan-ketentuan hukum yang terdapat dalam bahasa (wahyu) itu. Menguasai kaidah-kaidah ushuliyah dapat mempermudah seorang ahli fiqih dalam mengetahui dan mengistinbathkan hukum Allah dari sumber-sumbernya, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah. Fungsi kaidah ushuliyah adalah menggali dan mengeluarkan hukum islam dari sumber-sumbernya. Inti dari penjelasan dari pembahasan adalah
1.       Sesuatu itu tergantung pada maksud dan tujuannya.
2.       Bahaya harus dihilangkan.
3.       Adat itu bisa menjadi sumber hukum.
4.       Menarik suatu kemudahan.
5.       Apabila berkumpul antara halal dan haram maka yang haram mengalahkan yang halal.
6.        Apabila ada dua mafsadat berkumpul, maka kita memilih yang lebih kecil mafsadatnya.
7.       Penetapan hukum itu berdasarkan maslahat.
8.       Kemudahan itu tidak bisa digugurkan dengan kesulitan.





DAFTAR PUSTAKA


Mughis,Abdul,M.Ag.2008.Ushul Fikih Bagi Pemula.Jakarta:CV Artha Rivera (Bab VII Kaidah-Kaidah Bahasa dalam Ushul Fiqh hal. 89-111)

Amiruddin,Drs.H.Zen,M.Si.2006.Ushul Fiqih.Surabaya:eLKAF
(Bab IV Qoidah dan Tata Cara Penetapan/Pengambilan Hukum hal. 101-151)

Khallaf,Syekh Abdul Wahab.2005.Ilmu Ushul Fikih.Jakarta:Rineka Cipta
(Bab Iii Undang-Undang Ushul Lughowi hal. 172-249 dan Bab IV Qawa’id Ushuliah Tasyri’ah hal. 250-295)
Khallaf, Abdul Wahab. 2003. Ilmu Ushul Fikih. Jakarta: Pustaka Amani.

Rohayana, Ade Dedi. 2006. Ilmu Ushul Fiqih. Pekalongan: STAIN Press.

http://aminlrg.blogspot.com/2011/05.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar: